Mahasiswa UNSRI kembali dihantui bayang-bayang kelam dengan bebasnya Reza Ghasarma setelah menjalani hukuman pidana 2,5 tahun. Potongan hukuman berulang kali, status PNS yang masih aktif, dan tindakan kampus yang dinilai lamban memicu gelombang protes keras dari mahasiswa dan beberapa korban. Kebebasan bersyarat yang diterima Reza Ghasarma menuai kecaman dari berbagai pihak.
“Menurut saya hal tersebut sangat disayangkan karena banyaknya masa hukuman yang dipotong namun dikarenakan kurang paham hukum jadi kita menghargai keputusan. Namun, terkait dengan kejadian di mana nama RG masih tercatat sebagai dosen aktif serta sebagai mahasiswa aktif (S3) tentunya saya sangat menyayangkan dikarenakan hal ini seharusnya diurus oleh pihak kampus sejak awal. Apa pun narasi kampus saat ini, langkah yang dilakukan oleh kampus sudah terhitung sangat lamban dan dianggap menyepelekan kasus ini. Padahal kasus ini merupakan kasus yang tidak dapat dipandang sebelah mata.” respon salah satu pihak yang menemani korban yang tidak melapor.
Kilas Balik Kasus Pelecehan Seksual yang Dilakukan RG

Tindakan tidak senonoh oleh RG diisukan terjadi sejak tahun 2013, para korban yang dalam hal ini adalah mayoritas mahasiswi yang memiliki keterikatan untuk berinteraksi dengan RG. Salah satu korban, berinisial R, mengungkap bahwa RG adalah dosen Pembimbing Akademiknya yang sering mengirim pesan di luar konteks profesional. Beberapa korban lainnya diinformasikan tidak melapor karena sifat mereka yang cenderung pendiam.
Tahun 2014, R melaporkan RG kepada pihak kampus. Namun, tidak ada tindak lanjut secara hukum terkait laporan tersebut karena dianggap “hanya sebatas chat”.
September 2021, terungkap kasus pelecehan seksual yang terjadi di fakultas lain. Bersamaan dengan itu, beberapa korban melaporkan kembali kepada pihak kampus terkait perilaku RG yang masih terjadi. Diinformasikan sejak pelaporan tersebut, pihak kampus meminta bantuan untuk menelusuri mahasiswa yang turut menjadi korban.
Mahasiswi berinisial A yang mendampingi dua korban menyampaikan kronologi pra kejadian yang dialami dua korban yang tidak melapor tersebut. “Jadi untuk pra kejadian itu mendapat informasi jika ada salah satu korban yang merupakan mahasiswi yang diuji RG saat sidang mengaku mendapat tawaran bimbingan khusus. Lalu kejadian pelecehan di fakultas lain yang membuat bermunculan pusat aduan dilanjutkan dengan beberapa aduan korban saat itu ke pusat aduan BEM U.” ujarnya.
Para korban yang melapor dikonfirmasi mendapat upaya intimidasi yang dilakukan pihak RG. R mendapat serangan verbal yang dilontarkan istri RG melalui direct message. Selain itu, A mengungkapkan bahwa adanya upaya intimidasi yang dialami salah satu korban berinisial F. Pada Desember 2021, korban berinisial F mengalami penghambatan yudisium dalam hal nama yang tercatat dihapus dari jadwal yudisium. “Kebetulan dalam hari tersebut, F seharusnya mendapatkan jadwal yudisium di pagi hari (ada dua sesi). Ketika pagi hari sebelum dimulai acara, nama yang bersangkutan dihilangkan dari list dan hingga akhir tidak disebutkan dan kursinya juga tidak ada. Sehingga akhirnya terjadi aksi yang dilakukan oleh mahasiswa.” ujarnya.
Usai menerima laporan yang kian bertambah, pada Desember 2021, RG menjalani pemeriksaan di Unit 3 Subdit IV Renakta Polda Sumsel. Tepatnya pada 30 Mei 2022, Reza Ghasarma divonis 8 tahun penjara berdasarkan Putusan PN Palembang Nomor 186/Pid.B/2022/PN Plg. Atas putusan tersebut, pihak RG mengajukan banding kepada MA untuk pengurangan masa tahanan. Pada Agustus 2022, permohonan banding RG diterima Pangadilan Tinggi dengan Putusan Banding Nomor 123/PlD/2022/PT Plg. RG mendapat potongan masa hukuman menjadi 4 tahun. Meski telah ada pengurangan masa tahanan, pihak RG tetap menempuh langkah kasasi ke MA. Januari 2023, MA menolak permohonan kasasi yang diajukan pihak RG. Di tahun yang sama, pihak RG kembali mengajukan pembebasan bersyarat setelah menjalani masa hukuman 2 tahun. Permohonan tersebut dipenuhi pada tanggal 8 Mei 2024 yang menyatakan RG bebas bersyarat.
Duduk Perkara
Pelaku pelecehan seksual yang dilakukan dosen adalah hal krusial dimana terdapat dinamika kekuasaan yang melekat. RG yang pada saat itu menjabat sebagai Asisten Ahli Program Studi Manajemen tentu memiliki otoritas dan pengaruh kepada mahasiswanya, sehingga menyulitkan korban untuk bersuara atau menolak dalam percakapan yang tidak pantas. RG diketahui tidak hanya memanfaatkan posisinya untuk melakukan pelecehan verbal, tetapi juga mengirimkan foto-foto tidak senonoh kepada para korban, suatu tindakan yang jelas melanggar norma dan etika akademik serta hukum pidana.
Potongan masa tahanan berkali-kali, tindakan kampus yang dinilai lamban dalam menindaklanjuti kasus RG secara hukum, dan status aktif RG sebagai PNS yang masih dipertanyakan, tentu menjadi polemik dan ketakutan bagi mahasiswa UNSRI. Tidak adanya tindakan transparansi dari pihak kampus dalam merespon pemberhentian RG secara tidak hormat dan belum dikeluarkannya SK mengenai pemberhentian RG, masih menimbulkan kekhawatiran di kalangan mahasiswa.
Aksi Audiensi BEM UNSRI dengan Rektor
Pada Rabu, 15 Mei 2024 lalu, BEM UNSRI bersama Ketua UKM/UKK melakukan audiensi kepada pimpinan perguruan tinggi UNSRI untuk menyuarakan tuntutan yang berkaitan dengan pelecehan seksual RG. Rektor UNSRI Prof. Dr. Taufiq Marwa, S.E., M.Si menanggapi bahwa tuntutan yang disampaikan sudah dilakukan dan mengajak seluruh unsur pimpinan untuk bersama-sama melindungi mahasiswa dari ancaman-ancaman yang ada. Audiensi tersebut menghasilkan beberapa poin:
- Rektor menerima semua poin tuntutan.
- Rektor menjamin dan memastikan bahwa RG tidak akan kembali beraktivitas di Universitas Sriwijaya.
- Pemberhentian secara tidak hormat telah diusulkan Universitas Sriwijaya kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
- BEM UNSRI berjanji untuk terus mengawal proses pemberhentian terpidana RG dari jabatan PNS sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
- Satgas PPKS akan ditambahkan fokus pada penanganan bullying.
Tanggapan Korban
Saat audiensi yang dilakukan BEM di Ruang Rapat Senat Lt. II Universitas Sriwijaya, salah satu dosen memberikan statement terkait penggunaan kata ‘Trauma’ dalam pemberitaan. Statement beliau dinilai menyepelekan rasa trauma korban. R mengungkapkan kekecewaannya pada statement tersebut, “saya kecewa 100%, kok bisa mereka mengabaikan trauma korban” ujarnya.
Beberapa korban mengawal proses pemberhentian tidak hormat RG dan mendesak pihak UNSRI untuk segera memastikan RG diberhentikan. R, salah satu korban, mengapresiasi aksi audiensi yang dilakukan BEM, tetapi mengkritik BEM karena tidak memberikan batas waktu kepada Rektorat untuk keputusan pasti dan tidak menuntut bukti penolakan secara tegas.
Reporter: Kala, Cloudynne, dan Asha
Editor: Kala