Sumber: iStockphoto/Kadek Bonit Permadi

Bayu duduk di atas kasur tipis di kamar kosnya. Di depannya, celengan ayam Hulk berwarna hijau menyeringai, seperti sedang mengejeknya. Sudah tiga tahun Bayu mengisi celengan itu dengan sisa-sisa uang receh dari beasiswa atau kerja paruh waktu. Tapi, setiap kali penuh, isinya habis untuk hal darurat. Bayu menatap celengan hijau itu sudah terlihat lelah, dengan retakan kecil di bawahnya yang sudah sering ia tambal dengan lakban. Dia menarik napas panjang, lalu berkata, “Hulk, maaf ya. Kali ini bener-bener darurat.”

Tangannya merogoh isi perut Hulk dan mengeluarkan uang receh yang sudah lama ia kumpulkan. Semua koin disusun rapi di atas meja, kemudian dihitung. Satu per satu, koin receh dan beberapa lembar uang lusuh keluar. Totalnya Rp50.000. Itu semua yang ia punya untuk bertahan hidup selama seminggu ke depan.

Namun, Bayu punya rencana besar. Kompetisi wirausaha di kampus dengan hadiah Rp50 juta. Hadiah itu bisa jadi jawaban untuk semua mimpi-mimpinya—mendirikan koperasi digital di kampungnya yang selama ini terjebak utang dari lintah darat. Bayu menarik napas panjang. Kompetisi wirausaha kampus dengan hadiah Rp50 juta adalah peluang sekali seumur hidup. Ide koperasi digitalnya, sistem yang akan membantu petani di kampungnya keluar dari lingkaran utang rentenir sudah ia siapkan matang-matang. Masalahnya, biaya pendaftaran kompetisi adalah Rp100.000.

“Gimana caranya gue ngumpulin sisa Rp50.000 lagi?” pikirnya sambil memainkan koin di tangan. Di tengah kebimbangannya, Dito datang. Dito, teman masa kecil Bayu, adalah sosok yang selalu punya ide bisnis, meskipun hampir semuanya gagal.

“Bro, gue punya ide jenius!” kata Dito sambil menyodorkan piring berisi sesuatu yang tampak seperti sate, tapi lebih kecil. Bayu memandang skeptis. “Apaan ini? Sate lidi?”

“Bukan sembarang sate lidi, bro. Ini Sate lidi mozarella! Bayangin, makanan nostalgia anak SD tapi naik kelas. Dijamin laris!” Bayu mencium sate itu. Harum, tapi aneh. “Dit, ini kayak campuran keju sama… kecap manis?”

“Iya! Unik, kan?” Bayu menghela napas. “Dit, lo mau ajak gue investasi ini, ya?”

Dito mengangguk penuh semangat. “Gue butuh modal Rp50 ribu buat beli bahan lebih banyak. Kita bagi hasil!”

Bayu ingin tertawa, tapi uang di tangannya terasa berat. Jika ia membantu Dito, artinya ia harus melepas peluang kompetisi. Tapi jika menolak, ia tahu hubungan mereka bisa renggang. Akhirnya, Bayu berkata, “Gue nggak bisa investasi, Dit. Tapi gue bantu lo dengan strategi marketing.”

Dito tampak kecewa, tapi Bayu melanjutkan, “Lo harus bikin konten viral. Orang beli makanan nggak cuma karena rasa, tapi pengalaman. Percaya deh, ini bakal sukses!”

Beberapa hari kemudian, Bayu menggunakan uang terakhirnya untuk mendaftar kompetisi. Namun, saat menuju tempat pendaftaran, dompetnya jatuh ke selokan. Bayu, yang panik, langsung melompat ke selokan tanpa pikir panjang. Orang-orang di sekitar tertawa melihat aksinya yang mirip adegan film aksi murahan.

Setelah berhasil menyelamatkan uangnya, ia tiba di tempat pendaftaran dengan celana yang basah kuyup dan bau tak sedap. Petugas hanya menatapnya dengan wajah heran.

“Daftar kompetisi wirausaha,” kata Bayu sambil menyerahkan uang recehan yang sudah basah.

“Ini… uang receh semua?” Petugas memandang tumpukan koin itu dengan ragu.

Bayu hanya tersenyum kecut. “Namanya juga pejuang ekonomi.”

Hari kompetisi tiba. Bayu duduk di aula kampus, dikelilingi peserta lain yang membawa presentasi canggih dengan laptop mahal dan video animasi profesional. Sementara itu, Bayu hanya punya kertas diagram yang warnanya luntur karena insiden selokan.

Ketika giliran Bayu tiba, ia maju dengan gemetar. Tapi di tengah presentasinya, ia menyadari sesuatu-para juri terlihat bosan.

“Kalau gue cuma ngomongin angka, mereka pasti nggak bakal ingat gue,” pikir Bayu. Dengan spontan, ia mengubah strategi. Bayu mulai berbicara dengan gaya stand-up comedy.

“Ekonomi itu kayak sate lidi, kalau satu aja patah, semuanya ikut jatuh,” katanya sambil menahan tawa. Beberapa juri tersenyum. Dia melanjutkan, “Tapi dengan koperasi digital, kita bikin semua lidi saling mendukung. Jadi, nggak ada lagi yang patah!” Bayu menggunakan kisah nyata dari kampungnya untuk menyentuh hati juri. Ia bercerita tentang petani kecil yang terjebak utang bunga tinggi dan bagaimana koperasi bisa memberikan solusi. Ketika ia selesai, ruangan hening sejenak. Lalu, tepuk tangan menggemuruh.

Sementara itu, Dito menjalankan idenya. Berkat saran Bayu, ia membuat video promosi dengan gaya dramatis. Di video itu, ia memakan “Sate lidi mozarella” sambil berteriak, “Ini rasa nostalgia yang meledak di mulut!” Namun, ada kejadian tak terduga. Dalam video kedua, salah satu saus yang ia buat terlalu panas dan benar-benar meledak. Video itu menjadi viral di TikTok dengan tagar #SatePetasan.

Komentar bermunculan “Ini sate atau petasan beneran?” “Rasa nostalgia yang eksplosif!” “Gue harus coba ini!” Alih-alih rugi, insiden itu justru membuat sate Dito laris manis. Dalam waktu seminggu, ia kebanjiran pesanan dari berbagai kota.

Beberapa hari kemudian, Bayu menerima kabar baik, ia memenangkan kompetisi. Namun, ada satu hal yang tidak ia duga. Hadiah Rp50 juta itu ternyata berupa saham di koperasi digital, bukan uang tunai.

“Jadi gue nggak langsung dapat duitnya?” tanya Bayu dengan ekspresi yang campur aduk antara kecewa dan bingung. Juri yang tadi kagum dengan presentasinya tersenyum. “Betul. Ini investasi jangka panjang. Dengan saham ini, kamu akan memiliki kepemilikan penuh atas koperasi yang akan dibangun. Tapi untuk sekarang, ya, uangnya nggak bisa dicairkan.”

Bayu terdiam sejenak. “Ini kompetisi bisnis, apa seminar MLM, sih?” gumamnya, yang membuat penonton di ruangan tertawa. Meski begitu, Bayu menerima keputusan itu dengan lapang dada. Ia bertekad untuk tetap memulai koperasi digitalnya.

Sementara itu, Dito datang dengan kabar baik. “Bay, lo tahu kan video gue viral? Gue dapet investor! Mereka mau produksi ‘Sate petasan’ massal!”

Bayu tertawa kecil. “Lo serius? Itu sate atau senjata perang?”

Dito tersenyum lebar. “Gue udah bikin versi aman, bro. Investor gue cuma mau satu syarat, lo yang jadi CFO. Gue kasih lo 10% saham.”

Bayu, meski skeptis, setuju untuk membantu. Ia mulai sibuk mengurus laporan keuangan, rencana produksi, dan strategi pemasaran. Segalanya terlihat berjalan mulus, hingga suatu hari, investor besar mereka mengundang mereka ke acara peresmian pabrik pertama sate petasan.

Acara itu mewah, penuh dengan tamu undangan penting, media, dan tokoh kuliner terkenal. Bayu dan Dito berdiri di panggung dengan bangga saat investor mereka memberikan pidato.

“Kami yakin produk ini akan menjadi inovasi besar dalam industri kuliner,” kata investor dengan semangat. “Sate ini bukan hanya tentang rasa, tapi pengalaman. Inilah produk revolusioner kami, Petasan Mozarella Max!

Penonton bertepuk tangan meriah, tapi Bayu merasa ada yang janggal. Ia menoleh ke Dito. “Dit, lo yakin produk ini aman, kan?” Dito tersenyum kaku. “Tenang aja, bro. Gue udah tes semuanya.”

Namun, saat demonstrasi memasak dilakukan di depan penonton, tragedi kecil terjadi. Salah satu sate meledak, bukan hanya dengan percikan kecil, tapi seperti kembang api tahun baru. Ledakan itu mengenai balon dekorasi, membuat seluruh ruangan menjadi chaos. Orang-orang berlarian sambil tertawa panik. Media langsung menyorot kejadian itu. Dalam beberapa jam, tagar #SateDoom trending di media sosial.

Bayu memandangi Dito dengan tatapan tajam. “Dit, gue selalu tahu ide lo gila, tapi ini keterlaluan!” Dito hanya bisa nyengir. “Bay, lo nggak lihat? Ini kesempatan emas. Ini bukan cuma sate, ini pengalaman! Kita bikin konsep baru: live cooking show dengan efek ledakan.” Bayu menepuk dahinya. Tapi di balik kekacauan itu, mereka mendapat ide baru. Dalam beberapa bulan, mereka mengubah bisnis mereka menjadi acara hiburan kuliner yang digabung dengan sains dan efek khusus.

Penulis: Alyssa

Editor: Kala

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here