Terpidana Reza Ghasarma, akibat kasus pelecehan seksual terhadap tiga mahasiswa Universitas Sriwijaya melalui pesan aplikasi WhatsApp pada tahun 2021 silam kini bebas bersyarat dari Rumah Tahanan Klas I Pakjo Palembang. Kembalinya RG setelah menjalani masa hukuman penjara 2,5 tahun menuai kontroversi dan penolakan. Reza Ghasarma kembali menghirup udara bebas sejak Rabu, 8 Mei 2024 lalu berdasarkan Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Bebasnya Reza Ghasarma menghidupkan kembali diskusi mengenai ketetapan hukuman yang tidak tegas bagi pelaku, lantaran status PNS sebagai dosen yang masih aktif.



Mengingat respon yang dilakukan UNSRI pada awal terjadinya kasus RG, UNSRI hanya melakukan pembebasan tugas sementara profesi RG dari tugas sebagai dosen melalui Surat Keputusan Rektor No. 452/UN9/SK.BUK.KP/2021. Kemudian, hingga saat ini status ikatan kerja RG masih menjadi dosen tetap. Hal ini mengindikasikan tidak adanya sanksi yang tegas terkait jabatan RG. Padahal, pemberhentian PNS tidak dengan hormat dipertegas dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 87 ayat 4 bahwasannya pemberhentian dengan tidak hormat dapat dilakukan terhadap seorang PNS yang terbukti melakukan tindak pidana.
Vonis atas kasus RG sesuai dengan UU Nomor 44 tahun 2008 junco Pasal 35 UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, RG melakukan tindak pidana atas pelecehan seksual yang bahkan terjadi sejak tahun 2014. RG dinilai sebagai tenaga pendidik yang intelektual, tetapi melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dengan demikian, status PNS RG tentunya melanggar UU ASN yang berlaku dan menimbulkan kecurigaan tentang adanya pihak yang melindungi RG.
Jika kita mengingat, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menggelar sidang lanjutan pada 11 Desember 2018 yang menegaskan Pasal 87 ayat (2) dan (4) diuji memberi kepastian hukum dan pengakuan jaminan perlindungan dan tidak bersifat diskriminatif. Dengan demikian, UU ASN tentu sejalan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD tahun 1945. Namun, seolah UU ASN tersebut disingkirkan dalam kasus ini.
Secara tegas, mahasiswa Universitas Sriwijaya menyatakan menolak RG kembali beraktivitas di lingkungan kampus dan meminta pihak Universitas Sriwijaya untuk mengambil langkah tegas dengan memberhentikan RG secara permanen dan tidak hormat sebagai tenaga pendidik.

BEM UNSRI mengajak mahasiswa beramai-ramai untuk menandatangani petisi “UNSRI Rumah Kita, Bukan Rumah Bagi Predator Seksual”. Tercatat hingga saat ini, petisi sudah ditandatangani sejumlah 1.998 orang. Melalui petisi tersebut, pihak BEM UNSRI juga meminta agar Satgas PPKS tetap bertugas dalam melindungi hak-hak korban, mencegah tindakan seperti ini agar tidak terjadi kembali, serta memastikan keamanan dan kenyamanan bagi seluruh civitas akademika.
Reporter & Editor: Kala