Desa Karangjati terletak di bawah bayang-bayang Gunung Merapi, sebuah tempat yang seolah-olah terjaga oleh waktu. Zaman yang senantiasa berubah, semakin modern, sedangkan di desa ini semuanya masih terasa asri dan alami. Budaya di sini masih mengalir laksana air sungainya yang bening dan jernih. Setiap kali angin dari lereng gunung berembus, ia membawa bisikan-bisikan masa lalu—kisah-kisah yang dipelihara dengan hati-hati oleh generasi demi generasi.
Gunung Merapi ini bukan sekadar gunung saja. Namun, bagi masyarakat di desa ini, Gunung Merapi merupakan penjaga, pelindung, sekaligus sebuah ancaman yang tidak bisa mereka abaikan begitu saja. Oleh karena itu, setiap tahunnya, Desa Karangjati menggelar ritual Sedekah Gunung, sebuah upacara besar yang dilaksanakan untuk menghormati alam dan memohon keselamatan dari kemungkinan bahaya yang bisa datang dari gunung tersebut.
Sedekah Gunung bukan hanya sekadar ritual. Bagi masyarakat Karangjati, upacara ini adalah cerminan dari hubungan mereka dengan alam, sebuah pernyataan bahwa mereka adalah bagian dari alam yang lebih besar, bukan penguasanya. Upacara ini telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, menjadi bagian dari identitas masyarakat desa.
Setiap tahun, tepat di musim panen, seluruh warga desa berkumpul di kaki gunung membawa persembahan berupa hasil bumi berupa beras, sayuran, buah-buahan, dan aneka makanan lain yang nantinya akan diletakkan di puncak gunung sebagai tanda rasa syukur dan permohonan keselamatan.
Namun, di tengah khusyuknya persiapan Sedekah Gunung, seorang pemuda bernama Bimo duduk termenung di tepi sawah. Bimo adalah pemuda desa yang baru pulang setelah menyelesaikan pendidikannya di kota. Ia tumbuh besar di Desa Karangjati dan sejak kecil ia selalu mendengar kisah-kisah tentang pentingnya menjaga harmoni dengan alam.
Mbah Darmo, kakeknya, adalah salah satu sesepuh desa yang paling dihormati. Mbah Darmo selalu mengajarkan kepada Bimo bahwa gunung bukanlah benda mati. Gunung adalah makhluk hidup yang memiliki roh yang harus diperlakukan dengan hormat. “Gunung itu bukan hanya tumpukan batu dan tanah, Bimo,” ujar Mbah Darmo suatu malam. “Ia adalah penjaga kita. Selama kita menghormatinya, kita akan dilindungi. Namun, kalau kita abai, ia bisa murka.”
Bimo mengangguk saat itu, tapi seiring bertambahnya usia, ia mulai mempertanyakan ajaran-ajaran itu. Di kota, ia belajar tentang teknologi, sains, dan kehidupan modern. Ia belajar bahwa banyak hal bisa dijelaskan secara logis dan ilmiah, termasuk letusan gunung berapi. Ia mulai merasa bahwa Sedekah Gunung dan upacara-upacara lain yang dijalankan masyarakat Karangjati hanyalah sisa-sisa kepercayaan kuno yang tidak relevan lagi di zaman modern ini.
Hari itu, saat persiapan Sedekah Gunung tengah berlangsung, Bimo merasa hatinya penuh dengan kebingungan. Ia duduk di bawah pohon rindang memperhatikan ibu-ibu yang sibuk menyiapkan sesajian, anak-anak yang berlarian dengan ceria, dan para sesepuh desa yang memimpin persiapan dengan penuh khidmat. Bimo merasa terasing di tengah-tengah desanya sendiri. Dia senang berada di Karangjati, tapi di sisi lain, ia merasa bahwa desanya terlalu terpaku pada masa lalu. Ketika sore mulai merangkak, Mbah Darmo datang mendekati Bimo, “Apa yang kamu pikirkan, Nak?” tanya Mbah Darmo dengan suara tenang.
Bimo menatap kakeknya sejenak, kemudian menghela napas panjang, “Saya sedang berpikir, Mbah, apakah semua ini masih perlu? Sedekah Gunung, upacara-upacara ini… bukankah gunung itu akan tetap meletus jika memang sudah waktunya? Apakah persembahan ini benar-benar bisa mencegahnya?”
Mbah Darmo tersenyum lembut, “Kamu benar, Bimo. Letusan gunung bukan sesuatu yang bisa kita cegah dengan persembahan. Sedekah Gunung ini bukan untuk menghentikan letusan. Sebenarnya, ini juga bisa jadi cara kita untuk mengingatkan diri bahwa kita adalah bagian dari alam, kita hidup di dunia yang lebih besar daripada diri kita sendiri.”
Bimo mengerutkan kening, “Tapi, Mbah, kita sudah punya teknologi, sudah ada sistem peringatan dini. Mengapa kita masih harus bergantung pada hal-hal yang mistis?”. Mbah Darmo menatap cucunya dengan pandangan bijak, “Teknologi bisa memberitahumu kapan gunung akan meletus, tapi teknologi tidak bisa mengajarkanmu untuk menghargai alam. Sedekah Gunung adalah tentang rasa syukur, tentang menjaga hubungan dengan alam. Yang kita lakukan ini bukan tentang mistis atau tidak, tapi tentang keseimbangan di antara keduanya.” jelas Mbah Darmo.
Ucapan Mbah Darmo menggema di kepala Bimo. Ada kebijaksanaan yang mendalam di balik tradisi ini, sesuatu yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Meskipun ia belajar banyak di kota, ia merasa bahwa ada bagian dari dirinya yang tetap terhubung dengan tanah kelahirannya, dengan gunung yang menjulang megah di kejauhan.
Esok harinya, Desa Karangjati mulai bergerak menuju puncak gunung. Rombongan warga berjalan beriringan membawa persembahan di atas kepala mereka. Bimo ikut dalam rombongan itu, meski hatinya masih dipenuhi dengan keraguan. Di sepanjang perjalanan, ia melihat wajah-wajah penuh harap dan khidmat seolah-olah upacara ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga keselamatan desa mereka.
Ketika mereka sampai di puncak, Mbah Darmo memimpin doa. Suaranya yang lembut dengan penuh keyakinan menggema di udara, menyatu dengan desiran angin yang menyapu puncak gunung. Bimo berdiri di belakang mendengarkan dengan saksama. Di tengah doa, ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Bukan karena ia mulai percaya bahwa persembahan ini akan mencegah letusan gunung, tapi karena ia mulai memahami bahwa tradisi ini adalah bagian dari identitas desanya, bagian dari cara masyarakat Karangjati menjaga hubungan mereka dengan alam dan satu sama lain.
Usai upacara, Bimo duduk di tepi puncak, menatap pemandangan yang terbentang luas di hadapannya. Dari kejauhan, Desa Karangjati tampak kecil, terbungkus dalam kehijauan pepohonan dan sawah. Ia merasakan ketenangan yang selama ini hilang dari dirinya sejak ia kembali ke desa.
Di tengah lamunannya, Mbah Darmo kembali menghampirinya, “Bagaimana perasaanmu sekarang, Bimo?” tanya Mbah Darmo dengan senyuman hangat. Bimo menghela napas panjang. “Saya merasa… tenang, Mbah. Mungkin saya salah menilai semuanya. Tradisi ini bukan sekadar ritual kosong, tetapi tentang rasa syukur, tentang menghormati alam.”
Mbah Darmo mengangguk. “Kamu mulai mengerti, Nak. Hidup ini bukan hanya tentang seberapa cepat kita maju, tapi juga tentang seberapa baik kita menjaga keseimbangan. Teknologi dan kemajuan itu penting, tapi kalau kita lupa dari mana kita berasal, kita akan kehilangan arah.”
Kalimat Mbah Darmo membawa Bimo pada kesadaran yang lebih dalam. Meskipun ia ingin membawa kemajuan ke desanya, ia tahu bahwa kemajuan itu tidak boleh menghapus akar-akar tradisi yang telah membentuk identitas masyarakat Karangjati. Teknologi dan tradisi harus berjalan beriringan, saling melengkapi, bukan saling meniadakan.
Hari-hari berikutnya, Bimo mulai berinteraksi lebih intens dengan warga desa. Ia berdiskusi dengan para petani tentang cara-cara baru dalam bertani yang lebih efisien, sambil tetap menghormati siklus alam. Ia juga mengajarkan anak-anak muda di desa tentang pentingnya pendidikan dan teknologi, tetapi selalu mengingatkan mereka untuk tidak melupakan tradisi.
Di bawah bimbingan Mbah Darmo, Bimo mulai merancang program yang menggabungkan pengetahuan modern dengan kearifan lokal. Ia memperkenalkan metode pertanian organik yang lebih ramah lingkungan, mengajarkan cara memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan hasil panen tanpa merusak tanah, sekaligus tetap menjalankan upacara-upacara adat yang menjadi identitas desa.
Setiap kali ia merasa ragu, Bimo kembali mengingat apa yang dikatakan Mbah Darmo: “Hidup adalah tentang keseimbangan.” Kini, ia memahami bahwa Desa Karangjati tidak perlu memilih antara tradisi atau kemajuan. Keduanya bisa hidup berdampingan, saling menguatkan. Tradisi menjaga mereka tetap terhubung dengan alam, sementara teknologi membantu mereka menghadapi tantangan zaman.
Di bawah langit Karangjati yang selalu tampak lebih biru dari tempat mana pun yang pernah ia kunjungi, Bimo menemukan kedamaian yang selama ini ia cari. Di sini, di desa yang tumbuh bersama gunung, ia belajar bahwa masa depan tidak harus mengorbankan masa lalu. Masa depan adalah jembatan antara kemajuan dan tradisi, dan ia bersama seluruh masyarakat Karangjati adalah penjaga jembatan.
Penulis: Alyssa
Editor: Cloudynne dan Kala