Beranda Editorial Tirto Adhi Soerjo: Keberanian Dalam Goresan Tinta

Tirto Adhi Soerjo: Keberanian Dalam Goresan Tinta

64

Tirto Adhi Soerjo, sang Perintis Pers Indonesia, dikenal sebagai tokoh yang penuh keberanian dengan pemikiran kritisnya melalui tulisan. Goresan tinta untuk setiap kata adalah peluru ampuh yang ia miliki dalam menyuarakan ketidakadilan golongan terperintah pada masa Hindia Belanda. Tulisannya berkontribusi besar dalam perjuangan pergerakan kebangkitan nasional. Dengan suara keberaniannya dalam memperjuangkan keadilan, maka lahirlah beberapa media pribumi sebagai bentuk kebebasan pikiran kaum tertindas, seperti, Soenda Berita, Medan Prijaji, Soeloeh Keadilan, dan Poetri Hindia.

1880

Tirto Adhi Soerjo dengan menyandang gelar Raden Mas Djokomono lahir pada tahun 1880 di Blora, Jawa Tengah, berasal dari keluarga bangsawan. Ia merupakan cucu dari R. M. T. Tirtonoto, seorang Bupati Bojonegoro, yang pernah menerima penghargaan bintang Ridder Nederlandsche Leeuw sebagai pengakuan atas jasanya, sebuah penghargaan tertinggi dari Kerajaan Belanda pada masa itu. Ayahnya, Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero, bekerja sebagai pegawai di Kantor Pajak selama periode kolonial. Di sisi lain, dari pihak ibu, Tirto merupakan keturunan Mangkunegara I dan berada di tingkat ke-4 dari Keraton Surakarta, serta keturunan ke-4 dari R.M.AA. Tjokronegoro, Bupati Blora.

1894

Sebagai anak dari keluarga bangsawan, Tirto mendapat privilege untuk menempuh pendidikan modern eropa, seperti OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) dengan konsekuensi kelak akan menjadi pegawai negeri kolonial.  Tirto menjalankan kesempatan itu, tetapi di tengah jalan, kesempatan yang diangan-angankan banyak orang itu dipatahkan oleh Tirto. Pilihan yang berbeda, ia melanjutkan pendidikan kedokteran di STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), sebuah sekolah bagi rakyat pribumi. Itu bukan sekadar keputusan akademis, tetapi sebagai modus bagi Tirto untuk mendekati rakyat terperintah yang lemah. Belajar dari lingkungan STOVIA, di mana tempat pemuda pribumi yang cerdas itu berkumpul, tumbuhnya ide-ide radikal, dialektika gagasan kebangsaaan yang kritis, melahirkan Tirto Adhi Soerjo sebagai seseorang yang berani terhadap pemerintah kolonial.

1900

Tirto Adhi Soerjo dikeluarkan dari STOVIA karena beberapa kasus yang ia alami, salah satunya kemungkinan karena ketahuan mengeluarkan resep obat untuk sahabatnya, seorang Tionghoa miskin.

1902

Sebagai perintis jurnalistik dalam mengadvokasi hak-hak golongan terperintah, Tirto menjadi Redaktur Utama Pembrita Betawi. Ini menjadi langkah awal pergerakan kebangkitan nasional melalui pemikiran kritisnya pada tulisan.

1903

Media terbitan pertamanya adalah Soenda Berita, yang menjadi titik penting pers Indonesia yang didirikan, dikelola, dan diterbitkan oleh rakyat bumi Putera (pribumi). Dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Tirto Adhi Soerjo diberi julukan Sang Pemula, tokoh penting yang memiliki andil besar dalam pergerakan nasional dengan pola perlawanan melalui tulisan yang tajam dan penuh sindiran. Soenda Berita menjadi media pembelajaran pertama bagi Tirto dalam proses belajar mengelola bisnis media.

1906

Bagi Tirto, pada masa Hindia Belanda, ia melihat hanya ada 2 golongan, yaitu golongan memerintah dan terperintah. Golongan terperintah tidak lepas dari realitas keras penindasan dari golongan memerintah dan ia meyakini pers sebagai alat yang ampuh dalam perlawanan terhadap golongan memerintah. Dengan begitu, ia ingin memperbaiki keadaan pribumi dengan pemikiran melalui organisasi yang dibentuk, maka pada tahun 1906, Tirto membentuk Sarekat Prijaji. Sarekat Prijaji memiliki syarat keanggotaan yang lebih terbuka sehingga menjangkau lebih luas rakyat lapisan bawah.

1907

Sumber: Wikipedia

Setelah berjalan selama 3 tahun, penerbitan Soenda Berita terpaksa dihentikan karena mengalami kerugian finansial. Melalui pengalaman dan pembelajaran dari Soenda Berita, pada tahun 1907 Tirto menggagas terbitan mingguan, yaitu Medan Prijaji. Tirto memulai gagasannya tentang perniagaan, dengan kesadaran bahwa koran merupakan hal penting untuk politik, ia meminta pelanggan untuk lebih dulu membayar dengan imbalan saham Medan Prijaji, Tirto menginginkan sumber dana penerbitan Medan Prijaji itu berasal dari kalangan Bumiputera.

Melalui Medan Prijaji, Tirto banyak melakukan kritik terhadap ketidakadilan yang terjadi di tanah Hindia Belanda. Ia mengangkat suara kaum tertindas sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Tulisannya yang tajam dan penuh kritik terhadap pemerintah, menjadikan Tirto sebagai sosok yang dianggap bahaya oleh pemerintah kolonial yang berusaha membungkam perbedaan pendapat. Atas komitmennya dalam mengungkapkan ketidakadilan yang dirasa oleh kaum terperintah, Tirto mengelilingi pulau Jawa untuk mengamati langsung perjuangan kaum terperintah. Ia percaya bahwa berita merupakan hal yang perlu dicari dan diperjuangkan, bukan sekadar menunggu datangnya informasi. Dengan tulisannya yang tajam dalam mengartikulasikan perjuangan pribumi, ia mengajak pembacanya untuk ikut berpikir kritis dan berani pada pergerakan perlawanan kepada golongan memerintah. Tak hanya di situ, Tirto juga mendirikan media terbitnya lagi, yaitu Soeloeh Keadilan untuk menyebarluaskan berita yang fokus pada penegakan hukum.

1908

Dalam budaya yang patriarki masa itu, Tirto menjadi salah satu tokoh yang mendukung gerakan emansipasi perempuan. Dukungannya sudah dimulai melalui Soenda Berita, ia memberikan ruang bagi perempuan untuk mengekspresikan aspirasi dan pemikiran mereka. Tirto juga menjadi donatur tetap sekolah perempuan “Sakola Istri” di Jawa Barat yang didirikan oleh Dewi Sartika.

1909

Tirto juga terlibat dalam organisasi kebangsaan Boedi Oetomo, tetapi perannya tidak besar. Ketika Boedi Oetomo dirasa terlalu elitis dan tidak menjangkau pribumi, Tirto meninggalkan organisasi itu. Tirto menggagas organisasi baru dengan kaum pedagang umat Islam di Hindia Belanda, yang diberi nama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang berpusat di Bogor. Setelah mendapat popularitas di kalangan pribumi dengan kebesaran jumlah anggota, SDI membuka cabang di Solo dengan pemimpin Hj. Samanhoedi, saudagar batik di Surakarta. Tak hanya disitu, didirikan SDI cabang lain di Surabaya dengan pemimpin Tjokroaminoto.

Konsekuensi dari keberpihakan pada golongan terperintah melalui tulisannya yang penuh sindiran tajam, Tirto sering berurusan dengan pengadilan. Di tahun yang sama, Tirto mendapat hukuman pengasingan ke Lampung selama 2 bulan.

1912

Tulisannya yang dianggap mengganggu, Tirto mendapat serangan dari pemerintah kolonial. Pribumi yang berpihak pada Tirto berada pada situasi yang bahaya sehingga setoran pelanggan Media Prijaji kini mengalami kemacetan, jumlah omset yang menurun, dan tidak adanya lagi kepercayaan pada Medan Prijaji. Tirto tidak mampu membayar utang penerbitan dan mengakibatkan Medan Prijaji mengalami kebangkrutan.

Kemudian, di tahun yang sama, Tirto mendapat hukuman pengasingan yang kedua yaitu ke Ambon selama 6 bulan karena mengkritik Adipati Djojodiningrat, Bupati Rembang. Akibat dari pengasingannya, SDI di Bogor tidak lagi terkontrol, atas inisiatif Tjokroaminoto SDI berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI), dan Hj. Samanhoedi menolak pengakuan bahwa SDI Solo adalah cabang dari SDI Bogor.

1914

Setelah kepulangannya dari pengasingan, 2 tahun kemudian suasana pulau Jawa sudah berubah, semakin banyak tokoh nasional yang lahir dan organisasi kebangsaan mulai banyak. Nama Tirto tidak lagi terdengar, saudaranya acuh terhadap keberadaan Tirto. Semua aset Tirto disita, sosok yang dianggap bahaya karena kritiknya, kini sudah rapuh dan miskin, namanya seolah hilang dalam sejarah.

Ketika Medan Prijaji ditutup/bangkrut, beruntungnya Hotel Medan Prijaji yang pernah dipakai untuk menghidupi penerbitan Medan Prijaji sudah dibeli oleh sahabatnya, Raden Goenawan, yang diubah namanya menjadi Hotel Samirono. Tirto menghabiskan hari-harinya di hotel tersebut.

1918

Setelah mengidap penyakit beberapa tahun, pada 7 Desember 1918 Tirto meninggal dunia di kamar Hotel Samirono di usianya 38 tahun. Jenazahnya di makamkan di Kawasan Mangga Dua Batavia tanpa disaksikan banyak orang.

1973

Sumber: Bloranews.com

Makam Tirto Adhi Soerjo dipindahkan ke Tanah Sareal, Bogor, yang dimakamkan kembali pada 30 Desember 1973. Perjuangan Tirto digaungkan kembali oleh penulis dan sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Atas jasanya sebagai perintis suara-suara rakyat tertindas melalui pola perlawanan dalam bentuk tulisan, Pemerintah RI mengukuhkan gelar Bapak Pers Nasional pada Tirto Adhi Soerjo.

Tirto mewariskan banyak hal yang penting dalam sejarah pers di Indonesia. Tirto sebagai inisiator kebangkitan kesadaran nasional, mencontohkan keberanian dalam bertindak menentang ketidakadilan. Bangsa kita akan tetap menjadi bangsa yang terperintah jika tidak melawan.

2006

Nama Tirto Adhi Soerjo kembali hidup setelah dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah RI pada tahun 2006.

Reporter & Editor: Kala

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here