Pemerintah bersama DPR RI tengah menggulirkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) sebagai bagian dari agenda reformasi hukum nasional. RKUHAP dirancang untuk menggantikan KUHAP lama yang sudah berlaku sejak tahun 1981. Pembaruan ini dianggap penting untuk menyesuaikan sistem peradilan pidana Indonesia dengan perkembangan zaman, kebutuhan masyarakat, serta standar hak asasi manusia internasional. Namun, di tengah semangat pembaruan, muncul kekhawatiran bahwa beberapa pasal dalam draf RKUHAP justru berpotensi melemahkan prinsip-prinsip keadilan, akuntabilitas penegakan hukum, dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.


RKUHAP seharusnya menjadi tonggak penting dalam memperkuat sistem hukum yang lebih adil dan transparan. Dalam naskah akademik dan penjelasan pemerintah, RKUHAP bertujuan menyederhanakan proses peradilan, memperkuat peran korban dalam proses hukum, dan memberikan perlindungan lebih terhadap tersangka. Namun kenyataannya, sejumlah pasal dalam draf terbaru justru dianggap mengandung ketentuan yang kontroversial, bahkan represif. Beberapa ketentuan memungkinkan aparat penegak hukum untuk menahan, menyadap, menyita, dan mencegah seseorang bepergian tanpa kontrol yudisial yang memadai. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa RKUHAP akan menjadi alat kekuasaan, bukan instrumen keadilan.


Kritik keras datang dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga antikorupsi. Mereka menilai RKUHAP berpotensi membatasi independensi lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta melemahkan prinsip fair trial yang dijamin dalam konstitusi. Salah satu pasal yang sempat mendapat sorotan adalah Pasal 124, yang memperbolehkan penyadapan tanpa izin pengadilan dalam kondisi mendesak. Pasal ini dipandang membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran privasi. Beruntung, pada pertengahan 2025, DPR melalui Komisi III menyatakan bahwa seluruh pasal terkait penyadapan telah dicabut dari draf final RKUHAP dan akan diatur melalui undang-undang tersendiri.


Namun, perbaikan pada satu pasal tidak serta-merta menjamin bahwa keseluruhan isi RKUHAP berpihak pada keadilan. Pasal-pasal lain yang masih dipertahankan juga menjadi sorotan, seperti Pasal 276 yang berisi perpanjang masa penahanan tanpa putusan hakim, Pasal 251 tentang OTT tanpa kontrol yudisial, dan Pasal 287 yang memungkinkan penahanan terhadap saksi yang dianggap tidak kooperatif. Selain itu, terdapat pula ketentuan tentang penggunaan keadilan restoratif (Pasal 43 dan 44) untuk menghentikan perkara bahkan sebelum terbukti ada tindak pidana. Tanpa batasan yang jelas, hal ini bisa menjadi celah untuk intervensi politik atau perlindungan terhadap pelaku kejahatan tertentu.


Dalam konteks negara hukum, revisi KUHAP seharusnya diarahkan untuk memperkuat perlindungan terhadap hak-hak dasar, memperjelas mekanisme kontrol yudisial, dan membangun kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. RKUHAP bukan hanya soal mengubah prosedur, tetapi juga tentang memastikan keadilan dijalankan secara transparan dan tidak diskriminatif. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dalam mengawal proses legislasi ini sangat penting agar RKUHAP tidak menjadi alat legitimasi kekuasaan dan benar-benar menjadi jaminan atas perlindungan hukum bagi semua warga negara.

Penulis : Chewy dan Fzaa

Editor : Chewy

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here