Menurut data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia tercatat hanya tumbuh sebesar 4,87% secara tahunan (year-on-year) pada kuartal I 2025. Angka ini tidak hanya lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya (5,02% di kuartal IV 2024), tetapi juga menjadi laju pertumbuhan paling lambat sejak kuartal III 2021. Bahkan, secara kuartalan (quarter-to-quarter), ekonomi mengalami kontraksi sebesar −0,98%, menandakan adanya perlambatan yang cukup serius di awal tahun ini.
Jika ditelisik lebih dalam, perlambatan ini terjadi meskipun terdapat momentum Ramadan dan Idulfitri, yang biasanya menjadi pendorong konsumsi masyarakat. Konsumsi rumah tangga menjadi kontributor terbesar PDB Indonesia yang tumbuh sebesar 4,89%, turun dari 5,08% pada periode yang sama tahun lalu. Selain itu, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi juga tumbuh melambat menjadi hanya 2,12%, mencerminkan masih lesunya ekspansi dunia usaha.
Di sisi lain, sektor pertanian mencatat pertumbuhan paling tinggi, yaitu 10,5%, berkat hasil panen padi dan jagung yang meningkat. Industri pengolahan dan jasa komunikasi juga turut menyumbang pertumbuhan, tetapi belum cukup untuk menahan perlambatan secara keseluruhan. Berbagai faktor eksternal turut memperparah kondisi ini. Perlambatan ekonomi Tiongkok sebagai mitra dagang utama Indonesia, ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, serta ketidakpastian global yang masih tinggi memberikan tekanan pada ekspor nasional.
Di sisi domestik, suku bunga tinggi yang dipertahankan Bank Indonesia guna menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi, turut membatasi ruang gerak konsumsi dan investasi. Dalam konteks inilah, upaya stimulus dari pemerintah melalui peningkatan belanja negara sebesar 0,6% di semester pertama tahun ini masih belum cukup signifikan untuk mendorong pertumbuhan secara luas.
Dengan capaian kuartal I yang belum memuaskan, target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5,2% di tahun 2025 menjadi semakin menantang. Pemerintah perlu mengkaji ulang strategi fiskal dan moneter yang lebih terarah, terutama dengan memperkuat belanja produktif di sektor prioritas seperti infrastruktur, pertanian berkelanjutan, dan teknologi digital. Selain itu, perlu ada langkah konkret dalam menguatkan daya beli masyarakat dan menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya sekadar tumbuh, tetapi juga berkelanjutan dan inklusif.
Penulis : Cyla
Editor : Sajoview