Beras merupakan komoditas yang paling esensial bagi masyarakat Indonesia. Beras sebagai kebutuhan pokok sudah menjadi komoditas politik. Hal ini membuat aktivitas perdagangan pada beras sering diselewengkan menjadi suatu wacana dan mudah untuk dimanipulasi.
Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, menerbitkan dua regulasi terkait cadangan beras pemerintah (CBP) yang mengatur mengenai tata kelola cadangan beras pemerintah untuk memperkuat ketahanan pangan beras sebagai cadangan, minimal 1 juta ton hingga 1,5 harus dikuasai oleh Badan Urusan Logistik (Bulog). Dalam rangka pemenuhan kebutuhan konsumsi untuk penanggulangan bencana yang akan disebar ke pelosok Indonesia, Bulog harus menyediakan cadangan sebanyak 2 juta ton.
Kebutuhan konsumsi beras nasional kisarannya sebesar 129 juta ton/tahun untuk konsumsi masyarakat Indonesia atau sekitar 114 – 117kg/ satu kepala. Jumlah yang diimpor sebesar 1 juta ton, dimana 500 ribu ton untuk CBP yang tidak akan dijual untuk umum.
Kebutuhan konsumsi beras nasional kisarannya sebesar 129 juta ton/tahun untuk konsumsi masyarakat Indonesia atau sekitar 114 – 117kg/satu kepala. Jumlah yang diimpor sebesar 1 juta ton, di mana 500 ribu ton untuk CBP, dan 500 ton lainnya untuk Bulog, tidak dijual untuk umum.
Terkait wacana impor beras yang digagas oleh pemerintah, Ariodillah Hidayat, S.E., M.SI. selaku akademisi dari Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya, memberikan tangapan mengenai impor beras.
“Wacana impor beras yang digagas Menteri Perdagangan timing-nya tidak pas. Saat ini beras yang menjadi cadangan dalam gudang Bulog sekitar 800 ribu ton. Angka ini jauh di bawah ketetapan sebagaimana diatur berdasarkan regulasi yang ditetapkan. Sementara itu, stok beras pemerintah sisa dari impor tahun 2018 secara terpaksa harus dilempar keluar untuk diganti dengan stok baru. Berdasarkan data mengenai CBP, saat ini dinilai berada pada angka yang ditetapkan logis dan benar untuk mengimpor beras dalam memenui amanat dari Undang-Undang,” ujarnya.
Beras yang tidak dikeluarkan oleh Bulog akan mengalami penurunan kualitas dan penurunan kuantitas penjualan. Hal ini lah yang menjadi masalah. Beras sebagai CBP yang dikuasai oleh Bulog menjadi busuk.
“Yang menjadi permasalahan saat ini adalah ketika pemerintah melakukan Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bulog tidak memiliki jalan dan menagalami kesulitan dalam mengeluarkan stok beras untuk penanggulangan bencana. Hal ini mengakibatkan beras mengalami penurunan kualitas sehingga tidak laku untuk dijual. Berkurangnya stok bulog mengakitbatkan pemerintah melakukan supply melalui beras impor,” ungkapnya.
Bulog mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan di mana Bulog harus memenuhi jumlah CBP sesuai ketentuan pemerintah, tetapi Bulog juga harus melakukan pengeluaran stok beras lama untuk dijual meskipun terjadi penurunan kualitas.
Ungkapan Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengenai impor beras sudah menjadi polemik populer belakangan ini. Impor beras sudah menjadi rencana di tahun 2020, padahal sudah diperikarakan bahwa panen raya yang akan berlangsung pada bulan Maret hingga April akan surplus.
Pernyataan dari Airlangga Hartarto mengenai rencana impor beras menjadi suatu tanda tanya, apakah pernyataan ini akibat beras yang mengalami penurunan kualitas, atau adanya indikasi dari oknum yang akan mengambil kesempatan.
Persepsi yang dibangun oleh masyarakat adalah salah mengenai tujuan dilakukannya impor. Beras yang diimpor bukan untuk diperjualbelikan kepada masyarakat, melainkan untuk CBP Bulog sehingga ketika isu yang muncul mengenai impor beras akan melebar tak karuan dan pedagang akan menaikan harga gabah bagi petani.
Mekanisme Bulog akan pendistribusian beras seharusnya dilakukan dengan benar agar tidak ada stok yang menumpuk atau tidak dikeluarkan dari pasokan beras untuk didistribusikan, sehingga tidak ada penurunan kualitas dari beras tersebut. Perlu tata kelola yang baik pada pendistribusian beras. Dengan tata kelola yang maka akan tercipta sirkulasi stok beras yang baik.
Wartawan: GA, Peni
Penulis: GA, Peni
Editor: HGH