Kampus adalah tempat di mana mahasiswa mengasah intelektual dan mencari jati diri. Kampus tidak hanya memiliki sistem belajar mengajar yang fleksibel, tetapi juga memiliki organisasi mahasiswa yang mirip struktur pemerintahan negara.
Jika dilihat lebih saksama, kata “Mahasiswa” adalah sebuah kata penuh tanggung jawab dan amanah. Kata “maha” memiliki arti sangat, amat. Mahasiswa dituntut menjadi yang sangat baik dalam segi apapun, baik di dalam kehidupan akademik maupun nonakademik.
Dunia kampus juga tidak lepas dari kehidupan politik, salah satunya ada pada struktur pemerintahan yang terdiri dari Presiden Mahasiwa (Presma), Gubernur Mahasiswa (Gubma), Bupati, dll. Begitu juga dengan badan yang menanungi mereka. Ada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dsb.
Setiap tahun di kampus diadakan Pemilihan Raya (Pemira) untuk memilih pemimpin kampus, baik universitas maupun lingkup fakultas. Pastinya, ada mahasiswa-mahasiswi yang turut mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin kampus, spesifiknya pemimpin rakyat di kampus, yaitu mahasiswa.
Namun yang menjadi suatu dilema di sini, yaitu mahasiwa yang mencalonkan diri tersebut seringkali menyebutkan bahwa kampus adalah “Miniatur Negara”. Padahal harusnya kampus adalah tempat di mana orang-orang berpendidikan yang diharapkan turut bermoral, yang artinya tidak ada manusia-manusia dengan pikiran kotor. Namun, jika ternyata kampus terus diibaratkan sebagai miniatur negara, maka sebuah bangsa tidak akan pernah berubah menjadi lebih baik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Miniatur” adalah tiruan sesuatu dalam skala yang diperkecil; sesuatu yang kecil. Dengan demikian, kampus adalah panggung kecil aktor-aktor busuk bersandiwara. Panggung di mana penonton bersorak-ria menyaksikan Angling Darma melawan Ajian Rengkah Gunung dengan dalang di dekat tempat pentas.
Sebutan terkait miniatur negara seolah-olah merusak citra kampus yang harusnya suci. Sebutan ini acapkali terdengar saat pemira berlangsung, setiap paslon akan mengatakan “Kampus adalah miniatur negara” saat ditanyakan “Apa itu pemira?”. Setiap paslon akan saling seolah mengerti arti setiap kata yang keluar, seakan-akan mereka sedang meragakan wakil rakyat yang lupa suara.
Bahkan juga seperti negara, kampus tentu terdapat Black Campaign tidak jauh berbeda dengan negara bukan?. Kata miniatur negara bisa saja sesuai saat membahas banyak sisi, tetapi bukankah kita ingin menjadi bangsa yang lebih maju? artinya, kita butuh doa dan harapan yang lebih baik dari kenyataan yang terjadi.
Di sinilah kampus berperan sebagai “Inkubator” negara, di mana kampus menerapkan sistem yang ideal yang telah diterapkan dan bisa dipraktekan saat setelah bergelut dengan akademik.
Penulis: BIF
Editor: Stv