Kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia terus menunjukkan angka yang mengkhawatirkan dan menyisakan luka yang dalam, terutama bagi perempuan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024 mencatat 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sementara itu, data SIMFONI PPA mencatat 6.918 laporan dari Januari hingga April 2025, dengan 86% korban adalah perempuan. Ini menegaskan bahwa tubuh dan martabat perempuan belum sepenuhnya aman, bahkan di ruang yang seharusnya melindungi.
Kasus “Fantasi Sedarah” menjadi bukti nyata dari bentuk kekerasan seksual yang semakin berkembang di ruang digital. Grup Facebook ini berisi puluhan ribu anggota yang memperdagangkan konten pornografi, dengan korban utama perempuan dan anak-anak. Kekerasan tidak lagi terjadi secara fisik, tetapi juga lewat media dan teknologi. Negara harus menanggapi fenomena ini dengan keseriusan dan respons cepat lintas sektor.
Perempuan selalu dituntut untuk berpakaian “sopan”, seolah kekerasan timbul dari cara berpakaian. Sementara itu, laki-laki tak sepenuhnya mendapat edukasi untuk mengendalikan pandangan dan perilaku. Sikap masyarakat yang menyalahkan korban justru memperkuat budaya bisu terhadap kekerasan seksual. Akhirnya banyak korban memilih untuk diam karena tekanan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum belum sepenuhnya berpihak pada korban, meski Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan.
Pencegahan kekerasan seksual tidak bisa hanya mengandalkan hukum, tetapi perlu edukasi yang menyeluruh. Edukasi selama ini terlalu membebani perempuan agar waspada, tapi mengabaikan peran laki-laki. Padahal, laki-laki harus terlibat sebagai bagian dari solusi. Materi tentang persetujuan, kontrol diri, dan menghargai tubuh orang lain harus diajarkan sejak dini. Pendekatan berbasis komunitas juga bisa menjadi solusi untuk membangun sistem perlindungan yang lebih tangguh dan responsif.
Sudah waktunya narasi moral yang hanya membebani perempuan diakhiri. Menjaga tubuh dan keselamatan diri bukan tugas perempuan semata. Laki-laki pun harus bertanggung jawab atas perilaku dan cara pandangnya. Tidak ada pakaian yang layak disalahkan atas tindakan kriminal. Yang perlu dibenahi adalah mentalitas yang memposisikan perempuan sebagai objek.
Perempuan berhak untuk hidup aman dan bermartabat di mana pun mereka berada, baik di rumah, sekolah, tempat kerja, hingga ruang digital. Perlindungan terhadap perempuan bukan bentuk keistimewaan, melainkan pemenuhan hak dan keadilan. Selama budaya menyalahkan korban dan ketimpangan edukasi masih terjadi, maka kekerasan akan terus berulang. Oleh sebab itu, perubahan harus dimulai dari semua lini, baik dari rumah, dari sekolah, dan dari cara kita memandang perempuan.
Penulis : Jaan
Editor : Claire