“Industri keuangan syariah di Indonesia ibarat bus mewah dengan sedikit penumpang”, ujar Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner OJK, dengan cukup lantang pada suatu kegiatan forum ekonomi syariah. Analogi tersebut dinilai dapat menggambarkan kondisi Industri Keuangan Syariah (IKS) di Indonesia. Jika diamati lebih lanjut, pelaku IKS di Indonesia sudah cukup banyak dengan produk-produk yang cukup representatif dan variatif. Kemudian apa masalahnya? Masalah utamanya adalah minimnya demand akan produk IKS.

Pelaku IKS, termasuk di dalamnya perbankan syariah yang dominan di Indonesia diibaratkan bus mewah dengan fasilitas yang cukup lengkap. Berbagai produk-produk perbankan syariah telah tersedia dan siap memenuhi kebutuhan nasabah. Mulai dari produk pendanaan hingga pembiayaan. Namun, bus mewah tentu memerlukan biaya operasional yang tidak sedikit. Perbankan syariah juga demikian, perlu biaya untuk menggaji pegawai, gedung, fasilitas kantor, pengembangan teknologi, dan sebagainya. Diperlukan total revenue yang lebih besar dari total cost agar perbankan syariah dapat memperoleh laba. Total revenue tentu dominan didapatkan dari profit margin dan bagi hasil nasabah pembiayaan. Perbankan syariah membutuhkan nasabah dengan kuantitas dan kualitas yang baik agar dapat bertahan dan berkembang.

Fenomena yang terjadi adalah siapa seharusnya nasabah perbankan syariah? Saat ini yang terjadi perbankan konvensional dan syariah bersaing merebut “kue” nasabah yang sama. Perbankan syariah mau tidak mau mengambil “sisa” nasabah kredit yang ditolak bank konvensional yang tidak berkualitas. Ibarat bus mewah yang mengangkut sembarang penumpang, yang penting bus terisi penuh dengan penumpang dulu. Apakah penumpang akan membayar ongkos perjalanan? Wallahualam.

Alhasil banyak bank syariah dihadapkan pada tingginya tingkat Non Performing Financing (NPF) dan memasuki masa “blackout“. Modal perbankan syariah yang seharusnya digunakan untuk ekspansi malah tersedot untuk pembentukan cadangan pembiayaan macet. Beberapa bank syariah bahkan kesulitan dalam permodalan.

Salah satu faktor utama penyebab terjadinya fenomena tersebut adalah minimnya demand akan produk IKS dikarenakan minimnya nasabah yang benar-benar “butuh” produk IKS. Lalu, seperti apa seharusnya nasabah IKS?

Indonesia yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia merupakan pasar terbesar bagi industri halal, khususnya industri halal food, fashion, dan kosmetik. Namun Indonesia belum menjadi pelaku industri halal. Padahal Indonesia mampu untuk menjadi produsen industri halal, baik untuk dikonsumsi di negara sendiri maupun ekspor ke negara lain. Saat ini industri halal food terbesar dipegang oleh Thailand, sedangkan Korea Selatan merajai industri kosmetik halal dunia. Begitu juga dengan industri halal fashion dunia yang didominasi oleh China.

Industri halal merupakan pengembangan dari halal supply chain, di mana proses produksi barang atau jasa dari hulu ke hilir memiliki standar dan sertifikasi halal.

Indonesia diyakini mempunyai sumber daya yang sangat mumpuni dalam penerapan halal supply chain dalam industri halal. Potensi inilah yang dapat dikembangkan untuk menumbuhkan sektor riil bidang industri halal di Indonesia yang akan menumbuhkan demand bagi industri keuangan syariah di Indonesia.

Setali tiga uang, perekonomian sektor riil dapat tumbuh sejalan dengan tumbuhnya industri keuangan syariah. Indonesia telah memiliki sumber daya yang mampu untuk mengembangkan hal tersebut. Tinggal bagaimana peran pemerintah dan seluruh stakeholders ekonomi Islam dalam mewujudkan serta mengembangkan potensi industri halal tersebut.

Penulis: Muhammad Ichsan Hadjri, S.T, M.M.
Dosen Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi Unsri

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here